Kemarahan
Ayah
Pagi itu
cuaca cerah sekali. Berbeda dengan cuaca hatiku yang sedikit mendung.
Sudah lama aku merindukan kampung halaman. Merindukan keluarga yang
sudah berulang kali menelponku untuk pulang. Kring.. Kring... Handphone
ku berbunyi. Nomor baru. Ntah siapa yang nelpon. lalu ku angkat.
Ternyata Bapak menelpon. Bapak yang sudah lama berpisah dengan ibuku.
Hatiku makin
redup mendengar suaranya melalui telepon. Nada suarang beda. Nada
tinggi. Aku hanya bisa mendengar kan dan menjawab sekali-kali.
Dadaku sesak mendengar omelanya. Air mataku terjatuh. Rasa ku
berhambur jadi 1. Haru, sedih, marah, kesal, kasihan,
simpati, dll.. Dari telpon alu menjawab 'iya', 'maaf'..
Lalu tertawa getir.
Iya.. Bapak
menelpon. Beliau marah kepada aku yang sudah lama tak bertandang ke
rumahnya. Seakan aku sudah melupakanya. Sebenarnya bukan aku tak ingin
menjenguk. Tapi aku sudah berkeluarga. Otomatis aku harus patug
terhadap suamiku. Beliau bekerja sampai sore dan malam nya beliau
istirahat karena kecapek an. Pernah suamiku mengajak untuk menjenguk
bapak. Tapi aku bilang minggu depan. Karena sekarang dia haris
istirahat.
Tapi aku tak
menjelaskan itu kepada bapak. Aku tau watak ayahku yang keras dan egois.
Apapun penjelasanku pastilah ia merasa dia yang paling benar. Takan ia
mau mendengar penjelasanku. Aku malas berdebat.
Benar.., Pak..,
Engkau lah yang paling benar. Benar ketika dulu masih kecil engkau
tinggalkan. Benar ketika dulu masih kecil engkau sia2kan. Benar
ketika dulu ketika masih kecil dan butuh perhatian, kasih sayang,
teladan, namun engkau tidak ada. Engkaulah yang paling benar
bapakku. Aku menangis sesak dlam diam. Tangis tak bersuara.
Sekarang aku
telah dewasa, telah berumah tangga dengan lelaki yang mencintaiku apa
adanya. Lelaki yang memberikan semua yang aku butuhkan dulu darimu namun
tak kau berikan. Dialah suamiku saat ini. Dan sekarang engkau telah
renta. Engkau telah sepuh, ak.. Dan sekarang engkau baru mencariku.
Butuh perhatianku.
Aku bukan
anakmu yang pendendam. Bukan anakmu yang pemarah. Aku berusaha mengerti
dengan segenap pemakluman yang aku punya. Aku sungguh sadar kau tak lagi
sekokoh dan sekuat dlu. Bahkan mngkin sebentar lagi kau akan kembali
seperti anak2. Mudah merajuk, selalu butuh perhatian, minta
dimanja, dan berbagai rasa sebagimana yang dulu Rinai Kecil rasakan saat bapak
tak ada di samping. Aku sadar betul engkau sudah memiliki tanda2 itu..
Aku tak pernah menyesal memiliki bapak sepertimu. Bapak yang
meninggalkan anaknya dan memilih kebahagiaan baru dengan keluarga yang lain.
Bapak yang secara tidak langsung mengajariku menjalani krpahitan hidup
secara tertatih tanpa dukungan darinya. Rinai kecil yang hidupnya
terlunta-lunta, kerja sani kerja sini, tinggal sana tinggal sini
demi meneruskan hidup.
Bapak..
Bagaimanapun engkau tetap bapakku. Aku darah dagingmu. Aku akan
berusaha patuh sebisa mungkin di usia senjamu. Melupakan semua rasa sesal
dan benci yang dulu sempat aku rasa kepadamu. Biaralah masa2 sulit itu
menjdi kisah sendiri bagiku. Masa lalu mu adalah milikmu. Dan semua
salahmu padaku dan pada ibu menjdi masa lalu mu juga. Aku takan katakan
padamu pagaimana pahitnya menjalani hidup sampai akhirnya kita bersua kembali
di lorong itu.
Berjumpanya anak dan bapak yang telah lama tak jumpa. Aku takan ceritakan.
Toh engkau pun tidak pernah menanyakanya. "Bagaiman denganmu
anakku? Bagaimana kau menjalni hidup seperginya bapak? Bagaimana
kau menghapus air mata kala hatimu terluka tanpa ada bapak? Bagaimana kau
melukis senyum kala hatimu berduka? Dan bagaimana bisa kau ikut bahagia
tatkala kau lihat mereka bergandengan tangan dengan keluarganya yang lengkap
sementara engkau harus bekerja keras demi melanjutkan hidup??". Kau tak
pernah bertanya itu dan aku tak pernah ceritakan ini.
Bagiku
menemukan mu saja aku sudh bahagia. Menikmati memiliki seorang ayah meski
ayahnya sudah berusia senja.
Tidak ada komentar
Thanks udah mampir. Jangan lupa tinggalkan komentar ya. No SARA. Syukron Jazakallah..😊